Dr. Socrates Yoman : Di Tanah Papua, Sejak Leluhur Tidak Ada Teroris, KKB Dan Separatis, Tetapi Yang Ada Manusia-manusia Pemilik Sah Dusun Atau Tanah Papua
Infinityhenka.com - Dikutip dari laman Facebook resmi Dr. Socrates Sofyan Yoman, MA pada 11 Februari 2023 lalu, Sofyan Menuliskan dan Menguraikan Opininya tentang Stigma, Label dan Mitos dari Kata Teroris, KKB dan Separatis yang diberikan oleh NKRI terhadap Rakyat Bangsa Papua Para Pejuang Pembebasan.
Untuk itu simak selengkapnya dengan membaca seluruh tulisan ini dengan baik dan fokus, agar dapat memahami maksud dari sang penulis.
Oleh : Dr. Socrates Yoman, MA
DI TANAH PAPUA SEJAK LELUHUR TIDAK ADA TERORIS, KKB DAN SEPARATIS, TETAPI YANG ADA HANYALAH MANUSIA-MANUSIA PEMILIK SAH DUSUN ATAU TANAH PAPUA.
" Pasukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-TPNPB itu pilar militer bukan Separatis, KKB, teroris. Penguasa Indonesia membangun Papua dengan mitos, label, stigma, rasisme dan moncong senjata untuk tujuan ekonomi dan kapitalisme."
"Tulis semua yang kau ketahui mengenai bangsamu. Tulis semua gejolak perasaanmu tentang bumi sekitarmu. Karena dengan menulis kau belajar bicara." (Mayon Sutrisno: Arus Pusaran Sukarno, Roman Zaman Pergerakan: 2001:201).
1. Pendahuluan
Memperjuangkan martabat (dignity) rakyat dan bangsa West Papua tidak dengan cara-cara mengemis dan tunduk-tunduk kepada penguasa kolonial moderen Indonesia, karena sejak dulu, kami bangsa yang berdaulat dan terhormat di atas tanah leluhur kami.
Jadi, Papua Barat akan Merdeka atau tidak merdeka, itu urutan yang paling terakhir. Tetapi, yang paling utama dan terpenting ialah kami tetap berjuang melawan pendudukan dan kolonialisme Indonesia yang RASIS dan FACIS demi kehormatan martabat kemanusiaan kami atas tanah leluhur kami sebagai sebuah bangsa.
Di Tanah Melanesia di West Papua ini tidak pernah dikenal marga KKB, separatis, makar dan teroris. Di atas Tanah ini manusia-manusia bermartabat yang memiliki sebutan marga dengan jelas dan garis keturunan yang jelas dan pasti.
Contoh: Penulis marga Yoman. Leluhur Yoman. Ayah dari ayah saya Yoman. Ayah kandung saya Yoman. Kedua putra saya Yoman. Cucu saya Yoman dan selamanya Yoman. Leluhur, ayah dari ayah saya dan ayah saya bukan KKB, separatis, makar dan teroris.
Ada hampir 250 suku bangsa Papua yang hidup dalam budaya, sejarah, bahasa dan marga yang jelas di atas Tanah leluhur kami di Melanesia, West Papua. Terlalu banyak marga, karena itu saya sebut marga saya sendiri sebagai contoh.
Darimana mitos KKB, separatis, makar, teroris ini datang? Siapa yang menciptakan mitos KKB, separatis, makar, teroris ini? Mengapa manusia ciptakan dan gambar Allah dimitoskan KKB, separatis, makar dan teroris?
Pemerintah Indonesia, TNI-Polri sebagai kolonial modern, jangan mendirikan Kerajaan dan Pemerintahan Iblis di atas tanah leluhur rakyat dan bangsa West Papua dengan memproduksi mitos-mitos yang sangat tidak pantas atas hidup kami. Kami tahu, mengerti dan sadar, bahwa Pemerintah Republik Indonesia, TNI-POLRI, memang berniat buruk untuk memusnahkan rakyat dan bangsa West Papua dan ingin menguasai Tanah dan Sumber Daya Alam (SDA) serta mau merampok, mencuri, menjarah emas di atas Tanah kami, jangan dengan cara kolonialisme dan kekerasan yang merendahkan martabat kemanusiaan kami. Jangan berikan nama kami KKB, separatis, makar dan teroris. Perbuatan itu secara iman sangat berdosa dan secara etika itu sangat salah.
Sebelum 19 Desember 1961 dan 1 Mei 1963, penguasa Indonesia, TNI-Polri menduduki dan membangun Kerajaan dan Pemerintahan kekerasan di Papua, rakyat dan bangsa West Papua ada kehidupan bersama TUHAN tanpa sebutan nama KKB, separatis dan makar dan teroris.
Mitos KKB, mitos separatis, mitos makar, teroris itu diproduksi penguasa Pemerintah dan TNI-POLRI. Mitos KKB, mitos separatis, mitos makar dan teroris itu milik penguasa kolonial modern Indonesia. Mitos KKB, mitos separatis, mitos makar dan teroris itu bagian dari memperlebar dan memperluas Kerajaan kekerasan dan kejahatan di bumi. Karena mitos KKB, mitos separatis, mitos makar dan teroris itu belum pernah dan hidup di Tanah Melanesia sebelum tanggal 19 Desember 1961 dan 1 Mei 1963."
Penguasa pemerintah Indonesia dan TNI-POLRI jangan mengikuti watak dan sifat Iblis/Setan itu pencuri, perampok, penipu, pembohong, pembunuh, licik, melawan kebenaran dan marusak perdamaian.
Ingat! Rakyat dan bangsa West Papua manusia punya martabat, harga diri dan pemilik Tanah Papua. Jangan merendahkan martabat kemanusiaan kami di atas Tanah pusaka kami dengan mitos-mitos yang tidak layak.
Keadaan yang tidak normal yang diciptakan penguasa Indonesia seperti, maka kami tidak percaya apa yang Anda (penguasa Indonesia) katakan, sebab kami melihat apa yang Anda lakukan setiap hari terhadap bangsa kami di atas tanah leluhur kami.
2. Peran seorang gembala/tugas gereja
Anda semua, terutama penguasa, jangan salah menilai kami. Kami hanya suara mereka yang mau berkata benar, jujur dan adil, demi masa depan anak cucu mereka yang lebih baik, aman dan damai di atas tanah leluhur mereka West Papua. Karena kami punya kewajiban moral dan tanggungjawab iman untuk menjadi penyambung lidah umat Tuhan yang tertindas dan terabaikan.
Memang harus diakui dengan jujur bahwa para kolonial tidak pernah mengakui pejuang keadilan, kesamaan hak, martabat manusia dan kedamaian. Para pejuang untuk rakyat tertindas dan hak politik bangsa itu selalu dilihat dan dinilai oleh penjajah sebagai orang-orang pemberontak dengan kata lain separatis, label terbaru teroris dan KKB.
Saya sebagai Gembala dan anak pemilik Tanah Papua yang sudah SEKOLAH mempunyai kewajiban moral, iman dan pertanggungjawaban ilmu pengetahuan saya untuk menjaga, melindungi dan menggembalakan umat Tuhan yang punya Negeri dan Tanah leluhur West Papua. Penguasa Indonesia, TNI-Polri memberikan stigma Pemberontak, Separatis, Makar, OPM, dan KKSB, dan terbaru KKB dan teroris.
Tetapi saya sebagai Gembala melihat dari perspektif iman Kristen, kemanusiaan, orang sudah SEKOLAH dan pemilik Tanah Papua bahwa pasukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) adalah umat Tuhan dan sebagai pejuang keadilan, pejuang sejati martabat kemanusiaan dan hak politik untuk Penentuan Nasib Sendiri di atas Tanah leluhur kami.
Dalam keyakinan iman ini, saya sangat sependapat dengan pernyataan iman Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo sebagai seorang Gembala dan pemimpin rohani di Timor Leste.
"...dalam realita kalau sudah menyangkut pribadi manusia, walaupun dengan alasan keamanan nasional, Gereja akan memihak pada person. Karena pribadi manusia harganya lebih tinggi daripada keamanan negara atau kepentingan nasional." (Sumber: Voice of the Voiceless: Frans Sihol Siagian dan Peter Tukan, 1997: hal. 127).
Lebih jauh sesuai dengan iman Kristiani, manusia adalah gambar dan rupa Allah yang diciptakan oleh Allah. Permulaan Kitab Kejadian 1:26 dengan tegas menyatakan:
Berfirmanlah Allah: "Marilah Kita menjadikan manusia sesuai gambar dan rupa Kita..."
Mengapa gambar dan rupa Allah ini diberikan stigma separatis, pemberontak, dan mitos-mitos lain oleh penguasa kolonial Indonesia?
Dalam posisi iman saya, Tuhan Yesus Kristus lahir di Kandang Betlehem, Yesus Kristus rela mati di kayu salib di Golgota dan dikuburkan dan bangkit untuk umat Tuhan. Alkitab, Kitab Suci mencatat itu. Saya berdiri di atas dasar itu dan saya bersuara dari keyakinan itu. Dalam Kitab Suci atau Firman Tuhan tidak tertulis NKRI harga mati dan manusia Papua pemberontak, Separatis, kkb dan teroris.
Sebelum bangsa Indonesia datang menduduki dan menjajah bangsa kami, kami sudah ada di atas tanah leluhur dan pusaka kami West Papua sebagai manusia merdeka dan berdaulat. Leluhur kami dan nenek moyang dan orang tua adalah manusia-manusia sejati dan mereka tidak tahu dan tidak kenal dan juga tidak pernah mewariskan stigma atau label separatis, opm, kbb, dan teroris.
Saya seorang pemimpin yang sudah SEKOLAH. Saya tahu mana yang benar dan yang salah. Saya tahu apa yang saya kerjakan. Saya mengerti dan melihat penderitaan bangsa saya. Saya bersuara tentang penderitaan umat Tuhan sebagai sahabat manusia yang ditindas. Saya bersuara yang benar dan adil sesuai ukuran iman dan pendidikan saya. Saya bersuara umat Tuhan yang tak bersuara. Saya punya hak 100% untuk membela kehormatan dan martabat bangsaku West Papua. Tidak ada orang yang melarang dan membatasi saya.
Karena itu, Gereja harus hadir dalam dunia realitas. Gereja tidak boleh berada dibalik mimbar dan menghibur diri dengan ayat-ayat Alkitab/Kitab Suci Injil. Karena Injil bukan khotbah. Injil bukan juga teori. Injil bukan bermeditasi. Injil itu nyata. Injil itu hadir di tengah-tengah realitas hidup umat manusia. Gereja tidak boleh membiarkan mereka umat Tuhan di Tanah West Papua diperlakukan tidak adil, tidak manusiawi dan diberikan stigma pemberontak dan separatis atas nama keamanan dan kepentingan nasional. Gereja harus berpihak kepada umat Tuhan untuk menggembalakan dan melindungi mereka.
3. Mengapa Rakyat dan Bangsa West Papua Berjuang dan TPNPB Melawan Kolonial Indonesia?
Umpamanya saja, saya menemukan hanya satu kebenaran dari pemerintah Indonesia dalam proses penggabungan West Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui pelaksanaan Pepera 1969, maka saya akan mengatakan kepada rakyat Papua, mari kita hormati pemerintah Indonesia. Tetapi, sayang, dalam dokumen laporan hasil Pepera 1969 Annex 1 dan Annex 2, saya tidak menemukan satu kebenaran pun dari di pihak Indonesia. Ditemukan dalam dokumen itu hanya penipuan, kekejaman, kejahatan, ketidakadilan,
ketidakbenaran, kekejaman yang dilakukan ABRI (sekarang: TNI-Polri). Maka apapun alasannya, penguasa kolonial Indonesia tidak layak dihormati dalam konteks West Papua, karena Indonesia menduduki dan menjajah bangsa West Papua dengan illegal.
Penulis sudah SEKOLAH. Karena sudah SEKOLAH penulis tahu apa itu Pepera 1969. Saya terus membaktikan ilmu saya & pertanggungjawabkan iman saya untuk membela kehormatan dan martabat rakyatku dan bangsaku yang sudah lama menderita karena satu penyakit yang namanya penyakit Pepera 1969.
Penguasa kolonial Indonesia membanggakan diri dengan Pepera 1969 sudah final karena sudah disahkan dalam Sidang Umum PBB pada tahun 1969, maka status politik West Papua dalam Indonesia juga sudah final. Ini kleim penguasa kolonial Indonesia selama ini.
Kalau proses penggabungan West Papua ke dalam wilayah Indonesia dengan proses yang benar, adil, jujur dan itu memang benar-benar pilihan dari hati nurani orang tua kami, maka kami tetap hormati jasa para orang tua kami yang terlibat dalam proses Pepera 1969. Tetapi, proses pengintegrasiannya 100% penuh dengan penipuan, kejahatan, kekejaman, intimidasi, darah dan air mata, bahkan masih saja membunuh rakyat kami atas nama NKRI, maka untuk apa kita tunduk, akui dan menghormati pendudukan dan penjajahan Indonesia di Tanah leluhur kami. Lebih baik kita berjuang untuk menegakkan nilai kebenaran dan keadilan demi martabat bangsa kami. Bukan masalah menang dan kalah, tetapi kejahatan dan ketidakadilan kolonial Indonesia yang merendahkan martabat bangsa kami harus dilawan.
Saya melihat. Saya mendengar. Saya menyaksikan. Saya mengalami. Saya menyadari bahwa rakyatku dan bangsaku sudah cukup lama menderita dibawah penguasa tangan besi dan telinga tuli yang tidak kenal kebenaran dan anti keadilan yang namanya penguasa kolonial Indonesia. Bangsa yang tidak pernah ada dan tidak pernah dikenal sebelumnya oleh leluhur dan nenek moyang bangsa Melanesia.
Penulis terus sampaikan berulang-ulang tentang Pepera 1969 yang tidak adil dan dimenangkan oleh ABRI dengan cara-cara yang tidak beradab, kejam, brutal dan biadab dan tidak manusiawi itu kepada para pembaca.
Para pembaca perlu tahu bahwa ada 15 Negara dari kawasan Afrika dan Karabia pernah melawan dan menolak hasil Pepera 1969 yang tidak adil dan yang dimenangkan ABRI itu. Penulis sampaikan dua contoh.
Duta Besar Perwakilan tetap Pemerintah Gana di PBB, Mr. Akwei melawan dan menolak dengan tegas hasil Pepera 1969 yang palsu dan cacat hukum.
"...yang dilaporkan Sekretaris Jenderal PBB bahwa bukti-bukti peristiwa keputusan pelaksanaan pemilihan bebas adalah fenomena asing, dimana Menteri Dalam Negeri naik mimbar dan benar-benar kampanye. Dia, Menteri Dalam Negeri Indonesia, dia meminta anggota-anggota dewan musyawarah untuk menentukan masa depan mereka dengan mengajak bahwa mereka satu ideologi, Pancasila, satu bendera, satu pemerintah, satu Negara dari Sabang sampai Merauke." (Sumber: Dokumen PBB A/7723, Annex 1, paragraf 195).
Sementara delegasi Pemerintah Gabon, Mr. Davin dalam perlawanan dan penolakannya dengan tegas mengatakan ketidakjujuran dan penipuan pemerintah Indonesia terhadap rakyat dan bangsa West Papua dalam pelaksanaan Pepera 1969 di West Papua sebagai berikut.
"Setelah kami mempelajari laporan ini, utusan pemerintah Gabon menemukan hal-hal aneh dan kebingungan yang luar biasa, itu sangat sulit bagi kami untuk menyatakan pendapat kami tentang metode dan prosedur yang dipakai untuk musyawarah rakyat Irian Barat. Kami dibingungkan luar biasa dengan keberatan-keberatan yang dirumuskan oleh Mr. Ortiz Sanz dalam kata-kata terakhir pada penutupan laporannya. Berkenaan dengan metode-metode dan prosedur-prosedur ini, jika utusan saya berpikir perlunya untuk menyampaikan pertanyaan mendasar, itu dengan pasti menarik perhatian peserta Sidang untuk memastikan aspek-aspek yang ada, untuk menyatakan setidak-tidaknya kebingungan yang luar biasa. Kami harus menanyakan kekejutan kami dan permintaan penjelasan tentang sejumah bukti-bukti yang disampaikan dalam laporan perwakilan Sekretaris Jenderal PBB.
Contoh: Kami bertanya:
(1) Mengapa sangat banyak jumlah mayoritas wakil-wakil diangkat dan dipilih oleh pemerintah dan tidak dipilih oleh rakyat?
(2) Mengapa pengamat PBB dapat hadir dalam pemilihan hanya 20% wakil, beberapa dari mereka bertugas hanya sebentar?
(3) Mengapa pertemuan konsultasi dikepalai oleh gubernur; dengan kata lain, oleh perwakilan pemerintah?
(4) Mengapa hanya organisasi pemerintah dan bukan gerakan oposisi dapat hadir sebagai calon?
(5) Mengapa prinsip "one man one vote" yang direkomendasikan oleh perwakilan Sekretaris Jenderal PBB tidak dilaksanakan?
(6) Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?
(7) Mengapa para menteri dengan sengaja hadir dan mempengaruhi wakil-wakil (anggota Pepera) di depan umum dengan menyampaikan bahwa, " hanya hak menjawab atas pertanyaan untuk mengumumkan bahwa mereka berkeinginan tinggal dengan Indonesia?
(8) Mengapa hak-hak pengakuan dalam Pasal XXII (22) Perjanjian New York 15 Agustus 1962, yang berhubungan dengan kebebasan menyatakan pendapat; berserikat dan berkumpul tidak dinikmati oleh seluruh Penduduk Asli Papua?
(Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN General Assembly, Agenda item 108, 20 November 1969, paragraph 11, p. 42).
Fakta-fakta keterlibatan ABRI (kini: TNI-Polri) tidak terbantahkan. Menurut Amiruddin al Rahab: "Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan punggungnya pemerintahan militer." (Sumber: Heboh
Papua Perang Rahasia, Trauma Dan Separatisme, 2010: hal. 42).
Apa yang disampaikan Amiruddin tidak berlebihan, ada fakta sejarah militer terlibat langsung dan berperan utama dalam pelaksanaan PEPERA 1969.
Duta Besar Gabon pada saat Sidang Umum PBB pada 1989 mempertanyakan pada pertanyaan nomor 6:
"Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?"
(Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN GA, agenda item 108, 20 November 1969, paragraf 11, hal.2).
"Pada 14 Juli 1969, PEPERA dimulai dengan 175 Anggota Dewan Musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir..." (Sumber: Laporan Resmi PBB Annex 1, paragraf 189-200).
Surat pimpinan militer berbunyi: " Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun B/P-kan baik dari AD maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di Irian Barat (IRBA) tahun 1969 HARUS DIMENANGKAN, HARUS DIMENANGKAN..."
(Sumber: Surat Telegram Resmi Kol. Inf.Soepomo, Komando Daerah Daerah Militer Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No:TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: Menghadapi Refendum di IRBA ( Irian Barat) tahun 1969).
Hak politik rakyat dan bangsa West Papua benar-benar dikhianati. Hak dasar dan hati nurani rakyat West Papua dikorbankan dengan moncong senjata militer Indonesia pada saat mayoritas 95% rakyat West Papua mau memilih merdeka.
"...bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua." (Sumber: Pertemuan Rahasia Duta Besar Amerika Serikat utk Indonesia dengan Anggota Tim PBB, Fernando Ortiz Sanz, pada Juni 1969: Summary of Jack W. Lydman's report, July 18, 1969, in NAA).
Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui: "Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia." (Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).
Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969: "Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka." (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).
Keterlibatan Militer Indonesia juga diakui oleh Sintong Panjaitan dalam bukunya: Perjalanan Seorang Prajurit Peran Komando:
"Seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi Tempur, Teritorial, Wibawa sebelum Pepera 1969, pelaksanaan Pepera di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Papua Merdeka." (2009:hal.169).
Dari fakta-fakta kekejaman dan kejahatan ini, Amiruddin menggambarkan ini dengan sangat tepat dan indah, sebagai berikut:
"Kehadiran dan sepak terjang ABRI yang kerap melakukan kekerasan di Papua kemudian melahirkan satu sikap yang khas di Papua, yaitu Indonesia diasosiasikan dengan kekerasan. Untuk keluar dari kekerasan, orang-orang Papua mulai membangun identitas Papua sebagai reaksi untuk menentang kekerasan yang dilakukan oleh para anggota ABRI yang menjadi repesentasi Indonesia bertahun-tahun di Papua. ..Orang-orang Papua secara perlahan, baik elit maupun jelata juga mulai mengenal Indonesia dalam arti sesungguhnya. Singkatnya, ABRI adalah Indonesia, Indonesia adalah ABRI." (hal. 43).
Wajah penguasa kolonial Indonesia di West Papua digambarkan dengan tepat dan sempurna oleh ilmuwan dan tokoh rohaniawan Kristen Katolik Prof. Dr. Franz Magnis sebagai berikut:
"Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia. Kita teringat pembunuhan keji terhadap Theys Eluay dalam mobil yang ditawarkan kepadanya unuk pulang dari sebuah resepsi Kopassus."
"Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing. Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia." (hal.255).
"...kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab, sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak dipakai senjata tajam." (hal.257). (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme Bunga Rampai Etika Politik Aktual, 2015).
Pastor Frans Lieshout melihat:
"PAPUA TETAPLAH LUKA BERNANAH di Indonesia." (Sumber: Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, (2020:601).
KEBENARAN tidak perlu dibela. Ia akan membela dirinya sendiri. Ia pasti keluar sebagai pemenang sejati. Kebenaran tidak pernah mengemis kepada Anda untuk membelanya. Percayalah dan peganglah kebenaran. Ia pasti membela Anda dengan kekuatan kebenarannya. Anda selalu aman di dalam naungannya. Anda pasti tidak kecewa. Karena itu, jangan cari orang banyak, walau solidaritas itu penting tapi berteman dan bersahabatlah dengan KEBENARAN dan KEADILAN. Dan bertemanlah dengan orang yang berkata benar dan adil, bukan orang yang membenarkan Anda.
Sejarah membuktikan, bahwa sebuah kekuasaan pemerintahan yang dibangun atas dasar kejahatan, kekerasan dan kebohongan, ia tidak pernah bertahan lama. Ia selalu runtuh hancur-berantakan dan tinggal dalam kenangan sejarah. Apakah Indonesia akan bernasib begitu ke depan?
Anda semua, terutama penguasa, jangan salah menilai kami. Kami hanya suara mereka yang mau berkata benar, jujur dan adil, demi masa depan anak cucu mereka yang lebih baik, aman dan damai di atas tanah leluhur mereka West Papua. Karena kami punya kewajiban moral dan tanggungjawab iman untuk menjadi penyambung lidah umat Tuhan yang tertindas dan terabaikan.
Keyakinan iman saya, walaupun Indonesia memekarkan 5, 10, 20, sampai 100 Pemekaran Provinsi Boneka Indonesia di Tanahnya Orang Melanesia, CEPAT dan LAMBAT rakyat dan bangsa West Papua PASTI Merdeka dan berdaulat penuh dari penguasa kolonial Indonesia yang berwatak RASISME. Karena, tetesan darah, cucuran air mata, tulang-belulang dan penderitaan rakyat dan bangsa Papua menjadi MUSUH ABADI dan kejar terus-menerus dalam hidup para penjahat, pembunuh ini. Di sini berlaku hukum TUHAN dan hukum ALAM, yaitu hukum TABUR TUAI.
Doa dan harapan saya, tulisan ini menjadi berkat pencerahan bagi para pembaca.
Selamat membaca. Tuhan memberkati.
Waa.....Waa.....Kinaonak!
Ita Wakhu Purom, Sabtu, 11 Februari 2023
Penulis:
1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua;
2. Pendiri, Pengurus dan Anggota Dewan Gereja Papua Barat (WPCC)
3. Anggota Konferensi Gereja-gereja Pasifik (PCC)
4. Anggota Aliansi Baptis Dunia (BWA).
===========
Kontak: 08124888458 (HP)
08128888712 (WA)
Komentar