‘Kado’ Tutup Tahun: KUHP Baru, Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Makin Suram?
Infinityhenka.com - DPR dan Pemerintah ketuk palu Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) jadi Undang-undang, 6 Desember lalu. Berbagai organisasi masyarakat sipil termasuk organisasi lingkungan memprotes karena khawatir terhadap sejumlah pasal yang dinilai mengancam demokrasi hingga melemahkan penegakan hukum lingkungan. Tak hanya di Jakarta, protes berbagai kalangan termasuk mahasiswa muncul di berbagai daerah.
Puspa Dewy, Kepala Divisi Kampanye Anti Industri Ekstraktif Walhi Eksekutif Nasional, mengatakan pengesahan RKUHP ini menunjukan wakil ‘rakyat’ tidak mendengar dan mengabaikan kegelisahan rakyat dari pasal-pasal dalam hukum pidana yang anti demokrasi.
Di sisi lain, Adhitiya Augusta Triputra, dari Trend Asia mengatakan KUHP ini memang untuk melindungi aturan hukum sebelumnya seperti omnibus law dan berpotensi jadi alat membungkam masyarakat di tapak atau bahkan pegiat lingkungan atas kritik dan protes dari praktik kejahatan lingkungan.
Sementara itu, Andri G Wibisana, pakar hukum lingkungan Universitas Indonesia mengatakan, hal ini cukup ganjil, karena KUHP hanya menyediakan sanksi rendah dibandingkan Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Turut Berduka Cita Atas Matinya Demokrasi di Indonesia.” “Happy Wedding…Pemerintah, DPR dan Oligarki Sukses Melahirkan Rezim Anti Kritik.”
Dua karangan bunga kematian dan resepsi perkawinan ini ada di antara puluhan spanduk aksi protes penolakan terhadap rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), awal Desember lalu di depan DPR Jakarta.
Ratusan orang ini berkumpul di depan Gedung DPR/MPR, Senayan, membentangkan spanduk dan aksi simbolik menabur bunga diikuti membakar RKUHP. Beberapa orang naik di pagar membentang spanduk besar tertulis “Tolak RKUHP Bermasalah” dan “Tolak Pengesahan RKUHP”. Poster-poster juga direkatkan pada pagar kawat duri.
#SemuaBisaKena dan #TIbaTibaDipenjara pun jadi tagline berbagai kalangan masyarakat yang ikut aksi menyuarakan protes ini di berbagai media. Dari spanduk-spanduk aksi aksi langsung di lapangan maupun di berbagai kanal social media.
Protes berbagai organisasi masyarakat sipil termasuk organisasi lingkungan ini karena khawatir terhadap sejumlah pasal yang dinilai mengancam demokrasi hingga melemahkan penegakan hukum lingkungan. Tak hanya di Jakarta, protes berbagai kalangan termasuk mahasiswa muncul di berbagai daerah.
Sementara suara-suara protes rencana pengesahan, di dalam gedung DPR, Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR, yang memimpin rapat paripurna, bersama ratusan anggota wakil rakyat langsung maupun daring menyetujui RKUHP baru itu.
Pada 6 Desember lalu, RKUHP pun sah jadi ‘kado’ tutup tahun 2022.
Puspa Dewy, Kepala Divisi Kampanye Anti Industri Ekstraktif Walhi Eksekutif Nasional, mengatakan, pengesahan RKUHP menunjukkan wakil ‘rakyat’ tak mendengar dan tak mengabaikan kegelisahan rakyat. Beberapa pasal disebut anti demokrasi dan berpotensi mengkriminalisasi rakyat yang berjuang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Sejak awal, organisasi masyarakat sipil sudah menolak pengesahan RKUHP ini. Banyak substansi rancangan ini yang berpotensi memundurkan demokrasi dan merusak tatanan hukum di Indonesia, termasuk dalam penegakan hukum lingkungan.
[Limbah tambang nikel yang mencemari sungai di Desa Lafeu, Bungku Pesisir, Morowali, Sulawesi Tengah. Hukum lingkungan jadi lebih lemah bagi perusak lingkungan dalam UU KUHP. (Foto: WALHI Sulteng/Mongabay)]
Dari catatan Aliansi Nasional Reformasi RKUHP menyebut, ada 12 pasal dari draf akhir RKUHP masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang anti demokrasi, melanggengkan korupsi, mengatur ruang privat, hingga memiskinkan rakyat.
Pasal-pasal bermasalah itu antara lain, living law atau hukum hidup yang hidup di masyarakat disebut berpotensi disalahgunakan untuk merampas kedaulatan masyarakat adat. Juga soal pidana mati, penambahan pemidanaan larangan menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila di muka umum.
Pasal penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara, pasal contempt of court yang berpotensi mengkriminalkan advokat yang melawan penguasa, pasal kohabitasi yang berpotensi mempersekusi dan melanggar ruang privasi masyarakat, maupun pasal penghapusan ketentuan tumpang tindih dalam UU Informasi, Telekomunikasi dan Elektronik (ITE).
Selain itu, pasal soal larangan unjuk rasa, memutihkan dosa negara dengan penghapusan unsur retroaktif pada pelanggar HAM berat, mempidanakan korban kekerasan seksual, termasuk meringankan ancaman bagi koruptor. Juga, pasal yang melemahkan penegakan hukum bagi perusak lingkungan.
“UU KUHP ini kembali menegaskan bahwa pemerintah kembali melakukan pembangkangan atas konstitusi dan memperburuk demokrasi sumber daya alam di Indonesia,” ujar Puspa dikutip dari Mongabay.
Kondisi terburuknya, kata Adhitiya Augusta Triputra, dari Trend Asia, warga dan aktivis atau pegiat lingkungan harus menerima risiko ketika protes terhadap pencemaran atau kerusakan lingkungan. Terdapat Pasal 256 soal unjuk rasa dalam KUHP yang dapat mempidanakan warga termasuk pegiat lingkungan dengan penjara enam bulan dan denda. Pasal ini, katanya, rawan dan siap menyeret warga termasuk pegiat lingkungan bila tak ada pemberitahuan dan terjadi kericuhan.
Pengesahan RKUHP ini hanya dihadiri 18 orang anggota di ruang paripurna dan 106 lain secara online. Padahal jumlah anggota DPR ada 256 alias lebih setengah anggota tak hadir paripurna.
RUU ini terkesan dipaksakan, katanya, jadi tak berlebihan kalau masyarakat sipil maupun organisasi masyarakat sipil curiga ada kepentingan yang menyusupi produk hukum ini.
Pengesahan RKUHP, katanya, bagian lengkap karpet merah bagi investasi dan menguntungkan korporasi perusak lingkungan. Ada kecurigaan KUHP untuk melindungi aturan hukum sebelumnya dan saling berkelindan, antara lain dengan UU Cipta Kerja, hukum yang merevisi puluhan aturan hukum (omnibus law), UU Pertambangan Mineral dan Batubara dan lain-lain.
Kala masih rancangan, KUHP, pada 2019 pernah gagal rilis gagal karena kuat penolakan dan tekanan publik.
“Kalau dilihat pemerintah kita memang sudah memiliki niat untuk memaketkan kebijakan-kebijakan tersebut yang menguntungkan oligarki,” terang dia.
Sama seperti dikatakan Puspa, Adhitiya melihat hal serupa. Dia mengatakan, KUHP berpotensi jadi alat membungkam masyarakat di tapak bahkan pegiat lingkungan atas kritik dan protes atas kejahatan lingkungan.
“Belum lagi ketika banyak korporasi seperti di sektor energi yang ditetapkan sebagai proyek strategis nasional dan atau obyek vital nasional. Mereka diberikan perlakuan khusus seperti keamanan dari apparat negara.”
Sulit Jerat Penjahat Lingkungan
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) pun menganalisis poin-poin pasal yang berpotensi melemahkan penindakan pidana terhadap perusakan lingkungan.
Raynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif ICEL mengatakan, tindak pidana pencemaran lingkungan hidup memang sudah dikeluarkan dari KUHP dan dikembalikan ke UU No.32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH). Namun, katanya, ketentuan tindak pidana korporasi diatur secara sempit.
“Hingga yang dapat dijerat hanya pengurus korporasi. Korporasi sebagai badan hukum sulit dijerat karena tidak masuk dalam ketentuan itu,” ujar Raynaldo.
Padahal, kata Reynaldo atau yang akrab disapa Dodo, dalam kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla), seringkali korporasi mencoba melepaskan tanggung jawab dan memindahkan pertanggungjawaban kepada pengurus korporasi.
“Permasalahannya, pidana lingkungan hidup itu seharusnya diarahkan kepada korporasi.“
Permasalahan lain, katanya, sanksi pidana lingkungan hidup akan mengikuti buku pertama KUHP dengan sanksi lebih kecil dari UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Pada KUHP memang terlihat lemah menjerat penjahat lingkungan. Di ketentuan UU No.32/2009 PPLH, tercantum sanksi berat minimum satu tahun sampai maksimum tiga tahun penjara dengan denda Rp1-Rp3 miliar. Di KUHP, hanya ada ketentuan minimal menjerat korporasi penjahat lingkungan pidana dua tahun paling lama, denda di kategori VI maksimum Rp200 juta.
Andri G Wibisana, pakar hukum lingkungan Universitas Indonesia mengatakan, hal ini cukup ganjil, karena KUHP hanya menyediakan sanksi rendah dibandingkan Undang-undang Lingkungan.
“Padahal, Undang-undang Lingkungan, syarat penjatuhan sanksi justru lebih gampang karena delik formil, tidak perlu ada akibatnya. KUHP delik materil, harus ada akibatnya, tapi sanksi justru lebih rendah,” katanya, lewat sambungan telepon kepada Media ini.
Dia bilang, kondisi terburuk adalah akan ada argumen ketentuan tentang pertanggungjawaban korporasi mengikuti KUHP. Persoalannya, KUHP dan Undang-undang Lingkungan sama-sama mengatur, Bedanya, KUHP menjelaskan teori apa yang diatur, sementara Undang-undang Lingkungan sebaliknya, tidak mengatur, hingga lebih leluasa menerapkan teori apa saja dalam Undang-undang Lingkungan.
Teori yang diatur dalam KUHP yaitu derivatif, artinya pertanggungjawaban korporasi mengisyaratkan ada perbuatan pidana dari manusia, baik pekerja atau pengurus. Jadi, Andri bilang, korporasi bisa saja melepas pertanggungjawaban.
Dia mencontohkan dalam pencegahan kebakaran hutan. Kalau berdasarkan teori kesalahan korporasi, masuk sebagai kesalahan korporasi, tetapi karena hal itu tidak diakui dalam KUHP dan hanya mengakui pertanggungjawaban derivatif, maka tidak menjadi dasar pemidanaan korporasi.
Menurut Andri, korporasi itu harus dianggap sebagai sebuah entitas ril, bukan fiktif. Kalau tidak demikian, akan sulit dalam pembuktian korporasi bertanggung jawab.
Kalau menggunakan logika KUHP, kata Andri, akan sulit menemukan tindak pidana korporasi karena harus betul-betul orang yang melakukan tindak pidana atau ada unsur mens rea (niat jahat) dan actus reus (perbuatan jahat), dan baginya syarat itu sulit.
Begitu unsur mens rea dan actus reus terpenuhi, semua bisa dipidana baik korporasi, pelaku, pengurus yang tidak tahu apa-apa juga bisa kena pidana.
Dia menilai, teori tentang korporasi dalam KUHP sangat keliru dan kesalahan cukup fatal. Pengurus tidak bisa bertanggung jawab atas perbuatan korporasi, pengurus bisa bertanggung jawab kalau itu perbuatan sendiri. Andri mengusulkan, agar pengurus harus ada syarat-syarat khusus untuk dijerat, misal, melakukan sendiri, memerintahkan, membantu atau mengetahui ada pelanggaran tetapi dibiarkan.
Kesalahan konsep itu, kata Andri, bisa berakibat fatal. Teori pertanggungjawaban korporasi tidak bisa diterapkan kepada manusia, hanya bisa diterapkan korporasi.
“Jangan-jangan mereka (tim penyusun KUHP) belum mampu membedakan secara jelas bahwa korporasi dengan manusia adalah dua subjek hukum berbeda. itu subjek hukum berbeda dari korporasi sebagai badan hukum,” kata Andri.
Kalau demikian, lantas bagaimana menjerat korporasi perusak lingkungan? Andri mengatakan, penegak hukum dalam penanganan kasus-kasus lingkungan dan kehutanan menggunakan saja konsep di Undang-undang Lingkungan tanpa harus melihat KUHP, karena secara konsep KUHP salah.
“Jadi, untuk kasus lingkungan dan kehutanan, menurut saya KUHP ini tutup saja, tidak perlu dipakai.”
Apakah penegakan hukum lingkungan dengan UU No 32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup sudah memfasilitasi keadilan lingkungan? Menurut Andri, Undang-undang Lingkungan ini sudah bagus, tetapi implementasi masih dipertanyakan, terutama tujuan dari konsep penegakan hukum.
“Kalau saya, tujuan penegakan hukum bukan saja memaksa orang taat atau menghukum ketidaktaatan, bukan Cuma itu. Yang lebih penting dan tidak kalah penting adalah bagaimana memulihkan lingkungan yang sudah rusak atau tercemar dari ketidaktaatan.”
Dari segi sanksi administratif yang bersifat menghukum dan denda yang berbicara terkait pemulihan lingkungan saja belum banyak. Sementara, konsep denda administratif saja baru diperkenalkan melalui omnibus law dan itu satu-satunya perubahan baik dari omnibus law terhadap hukum lingkungan.
“Omnibus law mengoreksi itu, jadi itu yang benar, tapi sisanya salah, sisanya bahaya.”
Sangat Tertutup
Di tengah protes yang terus bergulir, pemerintah justru meminta masyarakat yang silang pendapat dengan pasal-pasal dalam KUHP agar mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bagi pemerintah, pengesahan KUHP perlu karena Indonesia sudah lama menggunakan dasar hukum yang dibuat Belanda.
“Kalaupun pada akhirnya nanti ada teman-teman yang merasa tidak pas bahkan menyatakan bertentangan dengan konstitusi, silakan saja judicial review,” kata Yasonna H laoly, Menteri Hukum dan HAM.
Andri mengatakan, tidak perlu ajari warga ajukan judicial review. Warga sipil juga tahu ada Mahkamah Konstitusi. Persoalannya, kenapa harus bikin UU tetapi kemudian dibatalkan karena proses salah atau benar.
“Kalau bisa dicegah kesalahan dari awal dengan proses konstitusi yang benar, atau dibuka sejak awal, mendengar pendapat dan masukan orang, kenapa harus ke Mahkamah Konstitusi?”
Ki Bagus Hadikusuma, pekampanye Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), melihat, dorongan gugatan ke Mahkamah Konstitusi sebetulnya mengulang proses sama dalam revisi UU Minerba maupun UU Cipta Kerja. Dia bilang, ini sekadar menciptakan ilusi seolah-olah warga sipil diberi ruang demokrasi.
“Apalagi, dalam proses pengesahan KUHP sangat instan. Kalau memang pemerintah berniat menjalankan proses demokratis, harusnya dari awal mendengarkan masukan dari masyarakat, bukan mengabaikan,” kata Bagus.
Sebenarnya Andri setuju dengan bikin KUHP baru karena proses hukum dan sidang nanti bisa pakai KUHP berbahasa Indonesia dari sebelumnya sekadar terjemahan. Namun dia sesalkan proses pembahasan KUHP tertutup dan tak mau mendengar masukan masyarakat sipil dan organisasi lingkungan.
“Tertutup itu yang saya sesalkan, saya sayangkan, sangat bahaya. Karena sebenarnya bisa lebih berkualitas, ada pasal yang tidak perlu. Setidaknya, kalau secara terbuka, tidak terjadi kekeliruan secara konsep ini,” kata Andri.
Ancaman Bagi Masyarakat Adat
Seperti yang disebutkan Aliansi Reformasi RKUHP, dalam draf akhir versi 30 November 2022, masih terdapat pasal dengan istilah “hukum yang hidup” yang berpotensi melanggar hak masyarakat adat. Hal ini disebut Koalisi Masyarakat Sipil juga dapat disalahgunakan kelompok elit politik, sosial, dan budaya dalam melanggengkan kekuasaan daerah.
Pemerintah berulang kali mengutarakan, KUHP yang bakal berlaku tiga tahun mendatang ini punya semangat dekolonialisasi dan melawan asas integritas warisan kolonial.
Namun, sisi lain dalam konteks masyarakat adat, asas legalitas materiil dalam hukum yang hidup itu mendalilkan kalau seseorang dapat kena pidana meskipun tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur pidana terhadap perbuatannya, melainkan hukum yang hidup di masyarakat.
“Meskipun dimunculkan seolah sebagai bentuk apresiasi terhadap hukum adat, namun pengaturan mengenai hukum yang hidup dalam RKUHP itu justru berpotensi melanggar hak masyarakat adat.”
Koalisi Masyarakat Sipil sejak awal mendesak tiga hal, pertama, agar penghormatan terhadap hukum adat seharusnya bukan diatur dalam KUHP, melainkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Penghormatan hukum adat oleh negara bukan dengan mengatur substansi norma yang dinamis ke dalam hukum tertulis, melainkan mewajibkan negara (hakim) untuk menghormati keberadaan putusan adat dan hukum adat dalam memperimbangkan perkara yang ditangani.
Kedua, penempatan hukum adat secara tidak parsial, bukan hanya sebagai dasar pemidanaan, melainkan alasan meringankan, meniadakan hukuman, atau menghentikan proses peradilan pidana.
Ketiga, penghormatan hak masyarakat adat untuk menjalankan hukum adat dan menyelesaikan sengketa di dalam wilayah adat atau komunitas masyarakat adat berdasarkan hukum adat masing-masing komunitas.
“Terkait hukum yang hidup, dorongan terhadap pengesahan RUU Masyarakat Adat merupakan jalan keluar dan upaya penting untuk mengatasi sengkarut urusan dan persoalan yang menjerat masyarakat adat di negeri ini.”
*(Mongabay/HK)
Komentar